Ini Hanya Blog Biasa yang Menyediakan Informasi Hal-hal Menarik Tentang Aceh.
Kuah Pliek-U, Gulai Para Raja
Masakan atau gulai khas Aceh.
Okezine - Template
Mesjid Raya Baiturrahman
Saksi bisu sejarah Aceh.
Okezine - Template
Tari Saman
Satu ciri menarik dari tari Aceh
..
Prev 1 2 3 Next

Tuesday 21 August 2012

Galery Foto Tempat Wisata Pilihan

Pantai Pusong Sangkalan di Aceh Barat Daya
Pantai Lhok Bubon di Aceh Barat

Pantai Lhoknga Aceh Besar
Air Terjun Tarujak Aceh Timur
Pantai Batu Berlayar di Aceh Selatn
Pinto Khop di Kota Banda Aceh
Gambar di atas merupakan beberapa tempat wisata yang ada di Aceh, masih banyak tempat wisata lainnya yang sangat indah dan menarik untuk anda kunjungi.
Baca Selengkapnya

Pisang Sale si "Eskrim Coklat Buah" dari Aceh


Sale pisang adalah makanan hasil olahan dari buah pisang yang disisir tipis kemudian dijemur. Tujuan penjemuran adalah untuk mengurangi kadar air buah pisang sehingga pisang sale lebih tahan lama. Pisang sale ini bisa langsung dimakan atau digoreng dengan tepung terlebih dahulu. selain itu, saat ini sale pisang mempunyai berbagai macam rasa seperti rasa keju. Saat ini, produksi pisang sale sudah menembus pasar internasional. Sale pisang merupakan produk pisang yang dibuat dengan proses pengeringan dan pengasapan. Sale dikenal mempunyai rasa dan aroma yang khas.

Sifat-sifat penting yang sangat menentukan mutu sale pisang adalah warna, rasa, bau, kekenyalan, dan ketahanan simpannya. Sifat tersebut banyak dipengaruhi oleh cara pengolahan, pengepakan, serta penyimpanan produknya. Sale yang dibuat selama ini sering kali mutunya kurang baik terutama bila dibuat pada waktu musim hujan. Bila dibuat pada musim hujan perlu dikeringkan dengan pengeringan buatan (dengan sistem tungju).

Ada 3 (tiga) cara pembuatan sale pisang, yaitu :
1. Cara tradisional dengan menggunakan asap kayu
2. Cara pengasapan dengan menggunakan asap belerang
3. Cara basah dengan menggunakan natrium bisulfit.

Proses pengasapan dengan menggunakan belerang berguna untuk :
* Memucatkan pisang supaya diperoleh warna yang dikehendaki
* Mematikan mikroba (jamur, bakteri)
* Mencegah perubahan warna


Resep Pisang Sale Goreng
10 buah pisang ambon
100 gr tepung beras
50 gr tepung sagu
1/2 sendok teh air kapur sirih
1/4 sendok teh vanili
2 sendok makan gula pasir
200 ml air

Cara Membuat
Kupas pisang lalu belah empat, jemur hingga kering.
Setelah kering, goreng pisang hingga matang dan kering. Angkat dan tiriskan.
Campur tepung beras, tepung sagu, air kapur sirih, vanili, gula pasir, dan air, aduk hingga adonan tercampur rata.
Celupkan pisang sale ke dalam adonan tepung, goreng dalam minyak panas hingga matang dan kering. Angkat dan tiriskan.

sumber : www.anjond.com (visit This Website Now)
Baca Selengkapnya

Warga Meriahkan Malam Lebaran dengan "Meriam Bambu"


Tradisi perang rakyat dengan menggunakan meriam bambu dan karbet dilaksanakan pada malam kedua Hari Raya Idul Fitri di sejumlah desa di Kecamatan Delima dan kecamatan Indra Jaya, Pidie, Minggu (19/8). Pesta semalam suntuk itu dilaksanakan untuk memeriahkan suasana lebaran.

Pantauan acehkita.com di Gampong Aree, Kecamatan Delima, sejumlah meriam bambu dipersiapkan untuk melakukan peperangan antardua desa. Selain yang terbuat dari bambu, sejumlah drum minyak juga disulap menjadi meria. Semuanya diarahkan ke arah desa lawan. “Musuh” mereka adalah Desa Garot, Kecamatan Indrajaya, yang jaraknya hanya dibatasi sungai.

Arus lalu lintas dari dan menuju ke lokasi “peperangan” macet total. Sejumlah warga terlihat berusaha untuk mengatur lalu lintas agar kemacetan parah dapat diatasi.

Aksi “peperangan” dimulai sekitar pukul 21.00 WIB. Meriam bambu dibakar oleh sejumlah anak-anak kecil di atas tempat setinggi tiga meter yang telah dipersiapkan. Sementara meriam karbit, dinyalakan oleh sejumlah orang dewasa.

Uniknya, di Gampong Aree warga menyalakan meriam bambu dengan menggunakan tangan. “Di desa lain, bakar karbit dengan menggunakan kayu, sementara di sini (Gampong Aree –red.) dengan menggunakan jari tangan,” kata Aswan, salah seorang warga Garot.

Menyalakan meriam menggunakan tangan, katanya, mempunyai tantangan tersendiri bagi para warga yang ingin ikut menyalakan meriam karbit. “Kalau bakar pakai kayu, anak kecil pun bisa,” jelasnya.

Untuk meriam bambu, terlihat sejumlah anak kecil membakar dengan penuh semangat. Meriam bambu disusun rapi di atas tempat yang telah dipersiapkan, di pinggir sungai. Dengan sangat antusias, meriam itu dinyalakan.

“Perang” meriam bambu –belakangan sering digunakan karbit, sudah menjadi tradisi warga di sejumlah desa di Kecamatan Delima dan Indrajaya. Ini merupakan cara mereka memeriahkan malam Idul Fitri, bak pesta kembang api di malam pergantian tahun Masehi. Makanya, di sebuah sudut pertokoan Garot, mereka memasang spanduk bertuliskan: “Welcome to teut bude trieng”.

sumber : acehkita.com (Visit This Website Now)
Baca Selengkapnya

Nikmatnya Kerang Dara Rebus


Lhokseumawe — Acara “nongkrong” ala orang Aceh identik dengan warung kopi dan kopi pancung. Namun, ada alternatif lain yaitu malam-malam “nyemil” kerang rebus.

Di Lhokseumawe, Aceh, tepatnya di Jalan Perdagangan, terdapat beberapa pedagang pinggir jalan yang menjual kerang rebus. Warung-warung dadakan ini hanya buka di malam hari.

Di belakang gerobak pedagang kerang rebus sudah tersedia meja-meja panjang dan kursi-kursi plastik. Seperti pada umumnya kursi plastik di Aceh, kursi itu pendek dan memiliki senderan menjorok ke belakang. Seakan memaksa tamu untuk duduk dengan santai sepenuhnya.

Penjual hanya menjual satu menu yaitu kerang rebus. Kerang yang digunakan adalah jenis kerang dara. Kerangnya begitu segar, tanpa ada bau amis berlebihan. Dimasaknya pun sederhana saja. Setelah kerang dara dibersihkan, kerang kemudian direbus.

Nah, letak keunikannya adalah sambal yang menyertai kerang rebus. Biasanya sambal untuk cocolan kerang rebus adalah sambal terasi ataupun sambal kacang.

Di sini yang dipakai adalah sambal nanas. Ada banyak penjual kerang rebus di berbagai daerah di Aceh dan biasanya yang disajikan adalah sambal nanas.

Kacang tanah yang dihaluskan dicampur dengan merica dan garam serta nanas yang telah dihaluskan. Rasanya pun menjadi khas, antara manis dan segarnya nanas lengkap dengan air nanas, berkolaborasi dengan gurih dan garing kacang tanah.

Mari coba kerang dara yang dicocol ke sambal nanas. Kerang direbus dengan sedikit garam. Hasilnya tekstur daging kerang yang lembut dan cenderung polos memiliki selilntasan rasa asin yang halus.

Setelah dicocol di sambal nanas, rasa daging kerang yang khas menjadi semakin keluar. Rasa manis, segar, dan aroma laut, berpadu dengan gurih dan kenyalnya daging kerang.

Jika Anda bukan penggemar kopi, malam-malam mengobrol seru di Lhokseumawe sambil menikmati kerang rebus, patut Anda coba. Hanya saja harga seporsi kerang rebus di Jalan Perdagangan, Lhokseumawe, lumayan mahal, yaitu Rp 20.000.

sumber : kompas.com (Visit This Website Now)
Baca Selengkapnya

Timphan si "Kueh Leukit", Hidangan Lebaran Khas Aceh


Timphan adalah hidangan khas Aceh disaat Lebaran, baik itu hari raya Idul Fitri maupun Idul Adha. Timphan adalah menu hidangan utama buat tamu yang berkunjung ke rumah saat Lebaran.

Timphan biasanya dibuat 1 atau 2 hari sebelum lebaran dan daya tahannya bisa mencapai lebih kurang seminggu. Timphan adalah salah satu makanan tradisional rakyat Aceh yang dibuat dari buah pisang.

Biasanya pisang diremas-remas dengan tangan dalam tepung ketan hingga menjadi adonan lalu di masukkan bahan pengisi yang manis-manis, seperti selai serikaya, kelapa, nangka, dan sebagainya, sebelum dibungkus kembali dengan daun pisang lalu di kukus hingga matang.

Bagi orang Aceh baik yang berada di Aceh sampai seluruh dunia tidak ada yang tidak mengenal dengan kue yang satu ini. Karena memang sudah menjadi tradisi turun temurun dan rahasia umum di Aceh bahwa Thimpan makanan wajib saat Lebaran.

Penasaran ingin coba sendiri, ini dia resepnya:

Bahan:
- 200 gr tepung ketan
- 2 sdm santan kental
- 1 sdm air kapur sirih
- 1/4 sdt garam
- 250 gr pisang raja dihaluskan
- Daun pisang muda

Isi :
- 2 butir telur ayam
- 50 ml santan kental
- 100 gr gula pasir
- 25 gr nangka masak cincang kecil
- 1/2 sdt tepung terigu
- 1 lembar daun pandan
- 50 gr kelapa muda parut halus
- 1/4 sdt vanili

Cara membuat :
1. Aduk tepung ketan dan pisang yang sudah dihaluskan serta santan, air kapur, dan garam hingga tercampur rata. Adonan ini digunakan untuk kulit.

2. Ambil daun pisang olesi dengan minyak lalu tipiskan adonan kulit, beri adonan isi kemudian digulung, dibungkus seperti lontong kecil, kukus hingga matang selama + 10 menit.

3. Buat adonan isi: Kocok telur dan gula hingga kental dengan mixer, masukkan tepung terigu dan santan, aduk rata, tambahkan nangka dan kelapa muda, beri daun pandan, masak sampai kental, angkat, beri vanili, aduk rata. Setelah matang dinginkan dan gunakan sebagai isi timphan.


sumber : gayahidup.plasa.msn.com (Visit This Website Now)
Baca Selengkapnya

“Meurujak Uroe Raya” Tradisi Gampong Tsunami


Banda Aceh — Pisau tajam di tangan Zulkifli (43), pemuda Gampong Lampoh Daya, Jaya Baru Kota Banda Aceh, terus mengiris buah pepaya mengkal sampai halus. Zulkifli menatap beberapa pemuda lainnya yang sedang mengupas aneka buah-buahan.

“Suasana sekarang beda dengan lima tahun lalu, sebelum tsunami melenyapkan hampir seluruh yang bernyawa di gampong (desa) ini,” katanya.

“Meurujak uroe raya selalu digelar pada setiap hari kedua Lebaran di kampung kami, Tradisi ini ingin kami pertahankan,” kata pemuda yang kehilangan anak dan isterinya dalam peristiwa tsunami 26 Desember 2004.

Gampoh Lampoh Daya, di pinggiran Kota Banda Aceh adalah salah satu desa yang saat tsunami kehilangan hampir 60 persen dari total penduduknya sekitar 800 jiwa.

Meurujak uroe raya yang berarti membuat rujak pada Lebaran hari ke-2 mengandung banyak makna, kata Geusik (kepala) Gampong Lampoh Daya, Munizar.

“Tidak semua gampong baik di Aceh Besar maupun Kota Banda Aceh yang masih menggelar tradisi meurujak,” katanya.

Menurut dia, tradisi “meurujak uroe raya” itu memiliki makna kebersamaan terutama antar pemuda, dan pengikat silaturahmi sesama penduduk gampong pada setiap lebaran puasa.

Para pemuda mengumpulkan dana untuk membeli buah-buahan dan bumbu untuk membuat rujak. Rujak dibuat dengan melibatkan para pemuda gampong secara bergotong royong di meunasah (mushala).

Karenanya, Munizar menjelaskan tidak heran jika warga banyak yang berkumpul di meunasah pada setiap hari kedua lebaran Idul Fitri.

“Kalau sebelum tsunami, kami membuat rujak Aceh asli atau disebut rujak parut karena semua buah-buahan itu diparut. Rujak parut rasanya khas dan pedas,” kata dia menjelaskan.

Buah-buahan yang telah dipotong-potong kecil itu kemudian dimasukkan dalam kuali atau tungku berukuran besar, dan diaduk dengan bumbu yang telah disiapkan dan kacang tanah yang telah ditumbuk halus.

Abdullah, warga lainnya menyebutkan suasana sebelum tsunami cukup semarak karena ratusan pemuda, remaja, orang tua dan anak-anak berkumpul di meunasah pada setiap hari kedua lebaran.

Suasana lebaran saat ini tentunya berbeda dengan lima tahun silam, namun katanya tidak mengurangi semangat masyarakat untuk mempertahankan tradisi “meurajak uroe raya” pada Idul Fitri 1431 Hijriyah.

“Orang tua dan saudara-saudara kami boleh tidak ada (meninggal) namun tradisi harus tetap dipertahankan. Kami memiliki semangat untuk terus mempertahankan apa yang telah menjadi warisan, karena ini juga positif untuk kehidupan,” katanya menambahkan.

Setelah rujak diracik, warga termasuk perempuan datang dan berkumpul di meunasah. Mereka ada yang membawa rantang, kantong plastik untuk mengambil rujak, kemudian dibawa pulang.

Pascatsunami, Abdullah menceritakan suasana lebaran saat ini berbeda karena jumlah penduduk yang telah berkurang. Selain itu, sebagian besar laki-laki dewasa kampung telah mudik ke kabupaten lain di Aceh.

“Artinya, mereka yang beristeri luar Kota Banda Aceh berhari raya di luar dan akan kembali ke kampung lima hari setelah lebaran. Karenanya, suasana lebaran tetap sepi di kampung kami setelah tsunami,” kata Thaibathun Islamiyah, warga Gampong Lampoh Daya.

Selain itu, pascatsunami rumah-rumah banyak ditempati para penyewa dan umumnya mereka berhari raya di kampung mereka masing-masing, karenanya lebaran menjadi sepi disini, kata dia.

Pada hari kedua Idul Fitri, meunasah menjadi “bursa” tempat bersilaturahmi sesama warga meski diantara mereka telah saling mengunjungi sebelumnya. “Meurujak uroe raya” membuat orang bersilaturrahmi pada hari kedua Lebaran Idul Fitri.

sumber : seputaraceh.com (visit this website now)
Baca Selengkapnya

Obyek Wisata Aceh Dipadati Pengunjung


Ribuan warga pada hari kedua (H+2) Idul Fitri 1433 Hijriyah memadati sejumlah objek wisata di Kota Banda Aceh dan Kabupaten Aceh Besar.

Berdasarkan pemantauan di lokasi wisata, Senin (20/8), obyek wisata yang ramai dikunjungi pengunjung yakni Masjid Raya Baiturrahman, Museum Tsunami dan Taman Sari Banda Aceh.

Lokasi wisata religi Masjid Raya Baiturrahman yang berada di pusat kota Banda Aceh merupakan tempat yang paling ramai dikunjungi pengujung yang didominasi remaja dan anak-anak.

"Sejak sore hari raya pertama sudah banyak remaja dan anak-anak yang berkumpul di halaman masjid raya, mereka juga berbelanja mainan di kawasan ini," kata Muhammad Farid (38) seorang pedagang makanan di kawasan Masjid Raya Baiturrahman.

Selain pengunjung di kawasan masjid kebanggaan masyarakat Aceh itu juga dipadati puluhan pedagang kaki lima yang menjajakan berbagai jenis makanan dan minuman serta mainan anak-anak.

Fajri (26) pedagang mainan mengaku sejak hari pertama sudah menjajakan berbagai jenis mainan jenis senjata api dan mobil-mobilan.

"Sejak kemarin yang paling laku mainan senjata api, umumnya yang membeli anak-anak berusia tujuh hingga 10 tahun," katanya.

Selain itu Masjid Raya Baiturrahman, Taman Sari juga ramai dikunjungi warga.

Ditaman yang berada di depan balai kota itu juga tersedia berbagai jenis permaianan seperti mobil-mobilan dan arena memancing untuk anak-anak.

Sejumlah objek wisata lainnya seperti pantai seperti pantai Lampuuk, Lhoknga, Ujung Batee dan Ujung Karang juga ramai dikunjungi para remaja.

sumber : atjehpost.com (visit this website now)
Baca Selengkapnya

Kue Tradisional Aceh Menggempur Lidah di Hari Fitri


Setiap daerah memiliki ragam tradisi masing-masing untuk menyambut hari raya Idulfitri, tak terkecuali di Aceh. Sebagai wilayah yang hampir 100 persen penduduknya mayoritas pemeluk Islam, suasana hari raya di Aceh sangatlah meriah dan semarak.

Kemeriahan ini mulai terasa jauh-jauh hari sebelum Lebaran tiba. Menjelang pertengahan Puasa, masyarakat Aceh umumnya mulai menyambut kedatangan hari raya dengan membersihkan pekarangan rumah, mengganti cat rumah, dan mengganti barang-barang perabotan rumah tangga yang dianggap perlu. Tak terkecuali, persiapan baju khusus untuk dipakai di hari paling istimewa tersebut.

Dari serangkaian persiapan di atas, yang tak kalah menarik adalah persiapan membuat aneka kue yang akan dihidangkan di hari raya. Kue-kue tersebut menjadi sajian utama bagi para keluarga, sahabat, dan tetangga yang berkunjung untuk bersilaturahmi.

Di setiap daerah di Aceh, kue-kue yang disajikan memiliki ciri khas, baik dari model, cara membuat, maupun filosofi dari makanan itu sendiri, tergantung pada letak wilayah dan komunitas masyarakatnya sendiri.

Untuk membuat kue-kue tersebut, umumnya kaum perempuan Aceh sudah mulai melakukannya sejak awal Puasa, yang dimulai dengan tradisi top teupông. Dulu orang Aceh menumbuk sendiri tepung-tepung dengan alat tradisional yang disebut “Jeungki”. Tradisi top teupông muncul sebelum bahan baku tepung untuk membuat kue mudah dibeli di pasaran seperti sekarang.

Prosesi menumbuk tepung ini biasanya dilakukan secara berkelompok, minimal dua atau tiga orang. Begitu juga saat membuat aneka penganan tersebut biasanya mereka sering melakukannya secara bersama-sama. Tradisi ini juga menggambarkan kekompakan dan kebersamaan yang tinggi di kalangan masyarakat Aceh.

Kue-kue tradisional Aceh yang umumnya sering ditemui saat hari raya adalah dodoi atau dodol. Kue berbahan dasar tepung ketan, gula, dan santan ini memiliki tekstur yang lunak dan kenyal. Untuk mendapatkan warna yang lebih cerah, dalam bahan baku kue ini biasanya ditambah gula aren atau gula merah sehingga warnanya menjadi coklat. Rasanya pun menjadi lebih legit dan harum.

Selain dodoi, kue-kue lainnya yang menjadi sajian istimewa saat lebaran adalah meuseukat, bhôi, dan keukarah. Ada juga kue bohusen, seupét, dan yang tak boleh ketinggalan adalah kue timphan. Keukarah, misalnya, selain menjadi hidangan untuk para tamu, di beberapa daerah di wilayah pantai barat Aceh, seperti Nagan Raya, dianggap sangat spesial karena menjadi kue hantaran dari pasangan pengantin baru kepada mertuanya.

“Ini khusus dibawa oleh mempelai wanita kepada mertuanya,” ujar Erismawati, warga Desa Ujong Patihah, Kecamatan Kuala, Kabupaten Nagan Raya kepada The Atjeh Times. Kue-kue tersebut, kata Eris, berukuran sebesar piring kecil. Jumlah yang dibawa pun beragam, tergantung pada kemampuan finansial pihak mempelai perempuan. “Jumlahnya bisa 15, 20, atau 30 kue,” tambah Eris.

Sebagai pelengkap hantaran, biasanya juga disertakan kue bungong kayèe. Kue-kue tersebut diletakkan dalam wadah berupa talam atau tempat khusus. Saat mengantar, pengantin perempuan didampingi oleh beberapa keluarga inti. “Hantaran ini bisa dilakukan pada hari pertama lebaran atau hari kedua, tergantung punya waktunya kapan,” ujar Eris.

Kue-kue sajian lebaran umumnya adalah kue kering dan tahan lama, tetapi tidak demikian di dataran tinggi Alas. Di Gayo Lues, kue khas lebarannya justru kue basah yang disebut “lepat dangutel”. Lepat dangutel nyaris hanya ada setahun sekali dan dapat dinikmati saat hari raya.

Kedua makanan ini merupakan sajian istimewa dan khas bagi masyarakat Gayo Alas di Gayo Lues. Kue ini biasanya baru dibuat dua hari menjelang hari raya, biasanya disajikan bersama kopi khas Gayo. Lepat dangutel hampir mirip, sama-sama terbuat dari tepung beras dan dibungkus dengan daun pisang. Hanya saja jika lepat berisikan inti kelapa parut, gutel berisikan pisang rebus.

Selain kue-kue tradisional seperti di atas, saat lebaran masyarakat Aceh juga menyajikan aneka hidangan kontemporer lainnya. Mulai dari yang kering, seperti kue-kue berbahan dasar tepung gandum dan mentega hingga makanan seperti lontong dan cake. Bahkan, semarak kue-kue kontemporer ini lebih mendominasi karena variasinya yang bermacam-macam. Apa pun hidangannya, yang pasti Lebaran di Aceh takkan pernah terlupakan kemeriahannya.

sumber : atjehpost.com (Visit This website now)
Baca Selengkapnya